1.
Pengertian Persalinan Prematur
Persalinan prematur adalah
persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 mingu (antara 20-37
minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram (Nugroho, 2010).
Persalinan prematur merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan
kematian perinatal sebesar 65%-75%. Persalinan prematur adalah persalinan yang
berlangsung pada umur kehamilan 20-37 minggu dihitung dari pertama haid
terakhir. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi prematur adalah
bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan prematur
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Syaifuddin,
2009).
Sampai sekarang belum ada
penyesuaian pendapat diantara para ahli mengenai definisi prematurisasi.
Holmerdan De Snoo menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan
kehamilan antara 28-38 minggu. Menurut Eastman bayi prematur adalah bayi yang
lahir dengan berat badan (BB) 1000-2499 gram, sedangkan menurut Grennhill
menyatakan bahwa bayi prematur ialah bayi yang lahir
dengan BB kurang dari 2500 gram.
Beberapa kriteria lain tentang bayi
prematur adalah panjang badan (crown-hell
length) 47 cm, diameter occipito-frontal
11 cm, lingkaran occipito-frontal 33
cm, selisih lingkaran-toraks 3 cm, center
ossification distal femoral epiphysis belum ada dan meningkatkan fetal Hb
pada pembuluh darah pusat (Sofian, 2012).
Persalinan prematurisasi merupakan
masalah yang besar karena dengan berat janin kurang dari 2500 gram dan umur
kurang dari 30 minggu, maka alat-alat vital (otak, jantung, paru, ginjal) belum
sempurna, sehingga mengalami kesulitan dalam adaptasi untuk tumbuh dan
berkembang dengan baik. Sekalipun sudah dirawat, bayi dengan berat antara 1500
sampai 2500 gram untuk dapat bertahan hidup, tetapi masih diragukan kemungkinan
untuk memiliki kemampuan dan kualitas yang diharapkan sebagai sumber daya
manusia (Nugroho, 2010).
Wirakusumah et al (2011) dan Sofian
(2012) menjelaskan menurut umur kehamilan dan berat badan bayi yang dilahirkan,
dikenal beberapa istilah yaitu:
a.
Abortus (keguguran)
Abortus atau keguguran
adalah terhentinya kehamilan sebelum janin dapat hidup (viable). Pengeluaran bayi sebelum kehamilan 20 minggu atau bayi
dengan berat badan kurang dari 500 gram.
b.
Persalinan imatur
Persalinan imatur
merupakan pengeluaran buah kehamilan pada usia kehamilan antara 20 sampai 28
minggu atau bayi dengan berat badan antara 500 sampai 1000 gram.
c.
Persalinan Prematur
Persalinan prematur
adalah persalinan (pengeluaran) hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu.
Pada usia kehamilan ini janin dapat hidup tapi prematur, berat janin antara
1000-2500 gram.
d.
Persalinan maturus atau aterm
Persalinan maturus atau
aterm (cukup bulan) adalah persalinan pada kehamilan 37-42 minggu, janin matur
memiliki berat badan di atas 2500 gram.
e.
Persalinan postmatur (serotinus)
Persalinan postmatur
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 42 minggu.
f.
Persalinan presipitatus
Persalinan presipitatus
adalah persalinan yang berlangsung sangat cepat, mungkin terjadi di kamar
mandi, di atas becak, dan sebagainya.
g.
Persalinan percobaan
Persalinan percobaan
adalah suatu penilaian kemajuan persalinan untuk memperoleh bukti tentang ada
atau tidaknya disproporsi sefalo-pelvik.
2.
Etiologi Persalinan Prematur
Syaifuddin (2009), menyatakan bahwa
persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi
keadaan obstetrik, sosiodemografi dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal dijumpai seperti
distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini atau trauma. Banyak kasus
persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator
biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks
(Saifuddin, 2009 dan Krisnadi, 2009), yaitu:
a.
Aktivasi aksis kelenjar hypotalamic-pituitary-adrenal (HPA), corticotrophin releasing hormone (CRH)
plasenta dan estrogen serta terjadinya fluktuasi imun pada ibu maupun janin,
akibat stress pada ibu atau janin.
b.
Inflamasi desidua-korioamnion atau
sistemik akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria atau infeksi
sistemik yang dapat mengaktifkan sitokin dan prostaglandin yang dapat
menimbulkan kontraksi uterus.
c.
Perdarahan desidua yang mengaktifkan
thrombin dan matriks metalloprotein yang dapat mempengaruhi pendataran serviks
dan pecahnya selaput ketuban.
d.
Peregangan uterus patologik yang dapat
merangsang produksi prostaglandin dan reseptor oksitosin yang dapat merangsang
kontraksi uterus.
Mengenai penyebabnya belum banyak
diketahui, menurut Eastman kausa prematur 61,9% kausa ignota (sebab yang belum
diketahui), Greenhill menambahkan bahwa, kausa prematur 60% kausa ignota (sebab
yang belum diketahui), sedangkan menurut Holmer sebagian besar tidak diketahui.
Faktor etiologi yang dikemukakan adalah kausa ignota, toksemia gravidarum,
multiparitas, perdarahan antepartum, kelainan seviks, komplikasi dari penyakit
seperti sifilis, dekompensasi kordis, rematik, penyakit-penyakit ginjal, mioma
uteri, kelainan kongenital, ketuban pecah dini, Rh-faktor dan Hidramnion gemeli
(Sofian,2012).
Krisnadi et al (2009),
menggolongkan penyebab persalinan prematur menjadi 2, yaitu penyebab
idiopatik/spontan dan iatrogenik/elektif. Pada kelompok idiopatik penyebab
persalinan prematur tidak diketahui. Sedangkan pada kelompok iatrogenik atau
persalinan prematur buatan, karena kelanjutan kehamilan diduga dapat
membahayakan ibu dan/atau janin maka kehamilan harus diakhiri segera.
Faktor-fakor yang memulai
persalinan belum diketahui dan mungkin melibatkan retreat from maintenance of pregnancy (dihentikannya pemeliharaan
kehamilan), yaitu penghentian faktor-faktor penopang kehamilan (misalnya
hormon) atau induksi aktif akibat faktor-faktor simulatorik yang bekerja di
uterus. Mungkin komponen dari kedua fenomena ini berperan. Kurangnya pengetahuan
tentang faktor-faktor ini menghambat kemajuan dalam mencegah pelahiran prematur
(Sadler, 2009).
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Persalinan Prematur
Berbagai penelitian telah dilakukan
untuk mencari faktor-faktor risiko persalinan prematur, namun adanya faktor
risiko tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalinan prematur, bahkan
sebagian persalinan prematur yang terjadi spontan tidak mempunyai faktor risiko
yang jelas (Krisnadi et al, 2009). Beberapa kondisi selama kehamilan yang merupakan
faktor risiko terjadinya persalinan prematur adalah sebagai berikut:
a.
Faktor ibu
1)
Preeklamsia/hipertensi
Aggressive
management dengan mengakhiri persalinan bahkan
sebelum usia kehamilan aterm dilakukan jika upaya konservatif yang dilakukan untuk
menangani preeklamsia mengalami kegagalan yang ditandai dengan keadaan klinik
dan laboratorik baik ibu maupun janin memburuk. Terdapat kecenderungan dari
tenaga kesehatan yang menolong persalinan untuk segera mengakhiri kehamilan
jika seorang ibu hamil mengalami preeklamsia walaupun usia kehamilan ibu belum
memasuki usia aterm dalam upaya untuk menyelamatkan ibu (Saifuddin, 2009).
2)
Penyakit infeksi dengan demam, misalnya
Infeksi saluran kemih/genital/intrauterin
Infeksi
saluran kemih dan jalan lahir (traktus urogenital) sangat berkaitan dengan
persalinan prematur. Infeksi ini biasanya mewakili infeksi bakteri yang
menjalar secara ascendens dari
saluran genital bawah (Krisnadi et al, 2009). Goldenberg dkk (2008) telah
menghipotesiskan bahwa infeksi intrauteri memicu persalinan kurang bulan akibat
aktivasi sistem imun bawaan. Mikroorganisme menyebabkan pelepasan sitokin
inflamasi yang kemudian merangsang produksi prostaglandin. Prostaglandin
merangsang kontraksi rahim, sedangkan degradasi matriks ekstraseluler pada membran
janin mengakibatkan Ketuban Pecah Dini (KPD) usia prematur (Cunningham et al,
2013).
3)
Inkompetensi serviks (panjang serviks
kurang dari 1 cm)
Inkompetensi serviks dapat
ditegakkan ketika serviks mengalami penipisan dan pembukaan tanpa disertai
nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan yang dapat
memicu terjadinya persalinan (Varney et al, 2007). Persalinan prematur dapat
berlangsung karena fetus dan cairan ketubannya terlalu berat untuk disangga
oleh rahim dengan serviks inkompeten, ketuban dapat segera pecah atau didahului
oleh kontraksi rahim (Krisnadi et al, 2009).
4)
Riwayat persalinan prematur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita
yang telah mengalami persalinan prematur pada persalinan sebelumnya memiliki
risiko 20% sampai 40% untuk mengalami persainan prematur kembali pada kehamilan
berikutnya (Varney et al, 2008). Risiko persalinan prematur berulang untuk
wanita yang pada persalinan pertamanya mengalami persalinan prematur, meningkat
tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita yang bayi pertamanya lahir cukup
bulan (Cunningham, 2013). Ibu yang mempunyai riwayat satu kali persalinan prematur
sebelumnya akan meningkatkan risiko untuk mendapat persalinan prematur lagi
sebesar 2,2 kalinya; dan bila pernah mengalami tiga kali persalinan prematur
risikonya meningkat sampai 4,9 kalinya. Penelitian lain mendapatkan kejadian
persalinan prematur 3 kali lipat pada ibu dengan riwayat persalinan prematur
(Krisnadi et al, 2009).
5)
Riwayat abortus berulang
Kebanyakan penelitian menyatakan
bahwa pernah mengalami abortus atau terminasi kehamilan pada trimester pertama
tidak berhubungan langsung dengan kejadian persalinan prematur, namun
peneliti-peneliti lain mendapatkan peningkatan kejadian prematuritas sebesar
1,3 kali pada ibu yang mengalami satu kali abortus dan 1,9 kali pada ibu yang
mengalami dua kali abortus (Krisnadi et al, 2009).
6)
Trauma
Trauma eksternal seperti kecelakaan
kendaraan bermotor atau kekerasan fisik dapat mengakibatkan lepasnya plasenta
dari tempat insersinya dan menyebabkan terjadinya solusio plasenta (Cunningham,
2013). Trauma benda tumpul, terjatuh telungkup pada ibu hamil dapat
mengakibatkan solusio plasenta yang dapat mengakibatkan persalinan prematur
(Rukiyah dan Yulianti, 2010).
7)
Stress psikologik
Beban
psikologik yang ditanggung oleh ibu dapat mengakibatkan gangguan perkembangan
janin. Stresor yang banyak baik stresor internal maupun stressor eksternal dapat
mengakibatkan depresi pada ibu hamil, maka kemungkinan besar motivasi ibu untuk
menjaga kehamilannya juga akan merurun. Perlakuan seperti itu terhadap
kehamilan sudah dapat dipastikan akan menimbulkan banyak masalah dan komplikasi
salah satunya adalah terjadinya persalinan prematur (Sulistyawati, 2009).
Stres
pada ibu dapat meningkatkan kadar katekolamin dan kortisol yang akan
mengaktifkan placental corticotrophin
releasing hormone dan mempresipitasi persalinan melalui jalur biologis.
Stres juga mengganggu fungsi imunitas yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi
atau infeksi intraamnion dan akhirnya merangsang proses persalinan (Krisnadi et
al, 2009).
8)
Jarak antara persalinan yang terlalu
rapat
Conde Agudelo dkk (2006), melaporkan
bahwa rentang waktu yang lebih pendek dari 18 bulan dan lebih panjang dari 59
bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran kurang bulan (Cunningham et
al, 2013). Risiko mengalami persalinan prematur kurang dari 32 minggu akan
meningkat 30-90% pada ibu yang mempunyai interval kehamilan kurang dari 6 bulan
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai interval kehamilan lebih dari 12 bulan
(Krisnadi et al, 2009).
9)
Kurang gizi
Selama proses kehamilan bayi sangat
membutuhkan zat-zat penting yang hanya dapat dipenuhi dari ibu. Kurang gizi
akan menimbulkan banyak komplikasi yang dapat berakibat fatal pada kehamilan
(Sulistyawati, 2009). Zat gizi yang tidak mencukupi diyakini dapat mengganggu
pertumbuhan janin. Ibu dan janin dengan gizi kurang dapat mengalami stres dan
berakhir dengan persalinan prematur (Krisnadi et al, 2009).
10) Anemia
pada ibu hamil
Anemia pada ibu hamil dapat
mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh ibu hamil, sehingga ibu mudah sakit,
menghambat pertumbuhan janin sehingga bayi lahir dengan berat badan rendah dan
memicu terjadinya persalinan prematur (Prasetyawati, 2012). Anemia pada
kehamilan dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat
besi dan asam folat selama kehamilan. Kondisi anemia pada ibu hamil dapat
berefek pada rendahnya suplai nutrisi dan oksigen sehingga sirkulasi uteroplasental
menjadi tidak lancar. Hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan
janin terganggu. Salah satu akibat yang dapat terjadi adalah persalinan
prematur (Manuaba et al, 2012).
Anemia pada ibu hamil karena
kekurangan zat besi dapat meningkatkan resiko infeksi maternal, dan hemoglobin
yang rendah dapat menyebabkan hipoksia kronis tingkat rendah yang dapat
menginduksi stress pada ibu dan janin. Sebagai reaksi dari adanya stress dari
ibu dan janin tersebut maka otak akan mengaktifkan HPA yang dapat merangsang
peningkatan produksi CRH atau kortisol untuk memulai persalinan yang prematur
(Zang et al, 2009).
b.
Faktor janin dan plasenta
1)
Ketuban pecah dini (KPD)
Setelah ketuban pecah biasanya
segera disusul oleh persalinan. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada
kehamilan prematur sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm
(Saifuddin, 2009). Menurut Manuaba et al (2012), terdapat beberapa penyebab
terjadinya KPD, diantaranya faktor sosial: perokok, peminum, keadaan sosial
ekonomi rendah, overdistensi uterus dan servik inkompeten. Menurut Krisnadi et
al (2009), risiko persalinan prematur pada ibu dengan riwayat KPD saat
kehamilan kurang dari 37 minggu adalah 34-44%, sedangkan risiko untuk mengalami
KPD kembali sekitar 16-32%.
2)
Cacat bawaan janin
Hasil penelitian Dolan dkk pada
tahun 2007 menemukan, setelah mengendalikan berbagai faktor pengganggu,
ternyata cacat lahir berkaitan dengan kelahiran kurang bulan (Cunningham et al,
2013).
3)
Kehamilan dengan distensi uterus
Kehamilan dengan distensi uterus
merupakan pembesaran uterus yang lebih besar pada kehamilan yang disebabkan
oleh unsur uterus, air ketuban, plasenta ataupun janin itu sendiri. Seiring
dengan regangan uterus yang cukup sering dapat menimbulkan kontraksi dan
kemampuan serviks mempertahankan kehamilan menjadi menurun, sehingga dapat terjadi
persalinan sebelum waktunya (Saifuddin, 2009).
a)
Kehamilan ganda/gemeli
Jumlah janin yang lebih dari satu
mengakibatkan pembesaran uterus melebihi normal dari usia kehamilan (Varney et
al, 2007). Sepuluh persen dari semua kelahiran prematur disebabkan karena
kehamilan kembar (Varney et al, 2008).
b)
Polihidramnion
Kondisi volume cairan ketuban yang
berlebihan dapat mengakibatkan distensi uterus yang berlebihan sehingga dapat
mengakibatkan persalinan prematur (Varney et al, 2007)
4)
Perdarahan antepartum
a)
Plasenta previa
Perdarahan pertama pada Ibu hamil
dengan plasenta previa sudah bisa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu,
tetapi lebih dari separuh kejadiannya pada usia kehamilan 34 minggu ke atas.
Terminasi kehamilan dengan seksio sesarea terpaksa harus segera dilakukan untuk
menghindari terjadinya anemia ibu karena kehilangan darah bahkan syok. Hal ini
membuat kelahiran prematur dan gawat janin tidak terhindarkan (Saifuddin,
2009).
b)
Solusio plasenta
Beberapa kasus trauma eksternal
seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau kekerasan fisik dapat mengakibatkan
lepasnya plasenta dari tempat insersinya (Cunningham, 2013). Perdarahan
retroplasenta yang terus berlangsung dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan
insufisiensi fungsi plasenta. Jika hal tersebut terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 37 minggu, maka terminasi kehamilan dapat berakibat pada persalinan
prematur (Saifuddin, 2009).
c.
Faktor sosio-demografi
1)
Status perkawinan (kawin dan tidak kawin)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kejadian persalinan prematur lebih tinggi terjadi pada ibu yang memiliki status perkawinan tidak sah
(15%) dari pada yang memiliki status perkawinan yang sah (13%) (Sofian, 2012). Jika
kehamilan tidak diharapkan karena hamil sebelum menikah, sehingga ibu akan menjadi
sangat membenci kehamilannya, sehingga tidak ada keinginan dari ibu untuk
melakukan hal-hal positif yang dapat meningkatkan kesejahteraan bayinya, salah
satu akibatnya adalah persalinan prematur (Sulistyawati, 2009). Persalinan
prematur pada ibu yang tidak menikah meningkat pada semua golongan etnik dan
semua golongan usia ibu. Penyebab pasti belum diketahui, diduga berkaitan
dengan faktor psikososial (kecemasan, stress), dukungan lingkungan dan faktor
sosio-ekonomi (Krisnadi et al, 2009).
2)
Suku bangsa
Menurut Sofian (2012), di luar
negeri pada orang kulit putih frekuensinya lebih rendah (6%), dibandingkan
dengan orang kulit hitam lebih tinggi (11-13%). Hasil penelitian Kitska dkk
(2007) di Negara bagian Missouri, menemukan bahwa wanita kulit hitam memiliki
peningkatan risiko kelahiran kurang bulan yang berulang (Cunningham, 2013).
3)
Sosial ekonomi
Ibu hamil dengan tingkat sosial
ekonomi rendah akan mendapatkan kesejahteraan fisik dan psikologis yang buruk.
Status gizi ibu hamil pun akan menurun karena zat gizi yang didapat kurang
berkualitas yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan pada ibu hamil (Sulistyawati,
2009). Salah satu akibat dari penurunan status gizi pada ibu hamil adalah
anemia karena kekurangan zat besi dan asam folat saat kehamilan. Hal tersebut
dapat menyebabkan anemia pada ibu hamil yang dapat berakibat pada terjadinya
persalinan prematur (Cunningham, 2013).
d.
Kebiasaan
1)
Pemakaian obat narkotik
Penyalahgunaan obat narkotik saat
hamil dapat mempengaruhi perkembangan janin baik langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh langsung dari obat melalui plasenta dapat menimbulkan efek
pada sel embrio, sedangkan pengaruh tidak langsung dengan mempengaruhi perfusi
plasenta dan oksigenasi janin. Konsumsi heroin selama kehamilan dapat
menimbulkan risiko perinatal salah satunya berupa persalinan prematur
(Saifuddin, 2009).
2)
Pekerjaan yang terlalu berat sewaktu
hamil
Pekerjaan yang terlalu berat pada
ibu hamil akan dapat menimbulkan kontraksi rahim yang dapat memicu terjadinya
persalinan (Sulistyawati, 2009). Jika usia kehamilan belum mencapai usia aterm,
maka dapat berakibat pada terjadinya persalinan prematur. Jam kerja yang
panjang dan kerja fisik yang berat pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko
kelahiran kurang bulan (Cunningham et al, 2013).
Kejadian persalinan prematur lebih
rendah pada ibu hamil yang bukan pekerja dibandingkan dengan ibu pekerja yang
hamil. Pekerjaan ibu dapat meningkatkan kejadian persalina prematur baik
melalui kelelahan fisik atau stres yang timbul akibat pekerjaannya (Krisnadi et
al, 2009).
3)
Perokok berat, dengan lebih dari 10
batang/hari.
Ibu hamil yang merokok akan
mengakibatkan bayi kekurangan oksigen dan racun yang dihisap melalui rokok
dapat ditransfer melalui plasenta ke dalam tubuh bayi. Proses tersebut dapat
menyebabkan gangguan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi janin dalam kandungan.
Salah satu akibat yang ditimbulkan dari kondisi tersebut adalah risiko
terjadinya persalinan prematur yang meningkat (Sulistyawati, 2009).
4.
Klasifikasi Bayi Prematur
Berdasarkan atas timbulnya
bermacam-macam problematik pada derajat prematuritas maka Usher (1975) dalam
Wiknjosastro (2007), menggolongkan bayi yang lahir prematur tersebut dalam tiga
kelompok yaitu:
a.
Bayi yang sangat prematur (extremely prematur), yaitu bayi yang
lahir pada usia kehamilan 24-30 minggu.
b.
Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately prematur), yaitu bayi yang
lahir pada usia kehamilan 31-36 minggu.
c.
Borderline
prematur, yaitu bayi yang lahir pada usia kehamilan 37-38
minggu.
Krisnadi
et al (2009) juga menklasifikasikan persalinan berdasarkan usia kehamilannya
sebagai berikut:
a.
Usia kehamilan 32-36 minggu disebut
persalinan prematur (preterm).
b.
Usia kehamilan 28-32 minggu disebut
sangat prematur (very preterm).
c.
Usia kehamilan antara 20-27 minggu
disebut ekstrim prematur (extremely
preterm).