Minggu, 19 April 2015

PERSALINAN PREMATUR


1.             Pengertian Persalinan Prematur
Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 mingu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram (Nugroho, 2010). Persalinan prematur merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan kematian perinatal sebesar 65%-75%. Persalinan prematur adalah persalinan yang berlangsung pada umur kehamilan 20-37 minggu dihitung dari pertama haid terakhir. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan 37 minggu atau kurang. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu (Syaifuddin, 2009).
Sampai sekarang belum ada penyesuaian pendapat diantara para ahli mengenai definisi prematurisasi. Holmerdan De Snoo menyatakan bahwa bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan kehamilan antara 28-38 minggu. Menurut Eastman bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan berat badan (BB) 1000-2499 gram, sedangkan menurut Grennhill menyatakan bahwa bayi prematur ialah bayi  yang  lahir  dengan BB kurang dari 2500 gram. Beberapa  kriteria lain tentang bayi prematur adalah panjang badan (crown-hell length) 47 cm, diameter occipito-frontal 11 cm, lingkaran occipito-frontal 33 cm, selisih lingkaran-toraks 3 cm, center ossification distal femoral epiphysis belum ada dan meningkatkan fetal Hb pada pembuluh darah pusat (Sofian, 2012).
Persalinan prematurisasi merupakan masalah yang besar karena dengan berat janin kurang dari 2500 gram dan umur kurang dari 30 minggu, maka alat-alat vital (otak, jantung, paru, ginjal) belum sempurna, sehingga mengalami kesulitan dalam adaptasi untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Sekalipun sudah dirawat, bayi dengan berat antara 1500 sampai 2500 gram untuk dapat bertahan hidup, tetapi masih diragukan kemungkinan untuk memiliki kemampuan dan kualitas yang diharapkan sebagai sumber daya manusia (Nugroho, 2010).
Wirakusumah et al (2011) dan Sofian (2012) menjelaskan menurut umur kehamilan dan berat badan bayi yang dilahirkan, dikenal beberapa istilah yaitu:
a.         Abortus (keguguran)
Abortus atau keguguran adalah terhentinya kehamilan sebelum janin dapat hidup (viable). Pengeluaran bayi sebelum kehamilan 20 minggu atau bayi dengan berat badan kurang dari 500 gram.
b.        Persalinan imatur
Persalinan imatur merupakan pengeluaran buah kehamilan pada usia kehamilan antara 20 sampai 28 minggu atau bayi dengan berat badan antara 500 sampai 1000 gram.
c.         Persalinan Prematur
Persalinan prematur adalah persalinan (pengeluaran) hasil konsepsi pada kehamilan 28-36 minggu. Pada usia kehamilan ini janin dapat hidup tapi prematur, berat janin antara 1000-2500 gram.
d.        Persalinan maturus atau aterm
Persalinan maturus atau aterm (cukup bulan) adalah persalinan pada kehamilan 37-42 minggu, janin matur memiliki berat badan di atas 2500 gram.
e.         Persalinan postmatur (serotinus)
Persalinan postmatur adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan lebih dari 42 minggu.
f.         Persalinan presipitatus
Persalinan presipitatus adalah persalinan yang berlangsung sangat cepat, mungkin terjadi di kamar mandi, di atas becak, dan sebagainya.
g.        Persalinan percobaan
Persalinan percobaan adalah suatu penilaian kemajuan persalinan untuk memperoleh bukti tentang ada atau tidaknya disproporsi sefalo-pelvik.
2.             Etiologi Persalinan Prematur
Syaifuddin (2009), menyatakan bahwa persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi dan faktor medik mempunyai pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur. Kadang hanya risiko tunggal dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini atau trauma. Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks (Saifuddin, 2009 dan Krisnadi, 2009), yaitu:
a.         Aktivasi aksis kelenjar hypotalamic-pituitary-adrenal (HPA), corticotrophin releasing hormone (CRH) plasenta dan estrogen serta terjadinya fluktuasi imun pada ibu maupun janin, akibat stress pada ibu atau janin.
b.        Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asenden dari traktus genitourinaria atau infeksi sistemik yang dapat mengaktifkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menimbulkan kontraksi uterus.
c.         Perdarahan desidua yang mengaktifkan thrombin dan matriks metalloprotein yang dapat mempengaruhi pendataran serviks dan pecahnya selaput ketuban.
d.        Peregangan uterus patologik yang dapat merangsang produksi prostaglandin dan reseptor oksitosin yang dapat merangsang kontraksi uterus.
Mengenai penyebabnya belum banyak diketahui, menurut Eastman kausa prematur 61,9% kausa ignota (sebab yang belum diketahui), Greenhill menambahkan bahwa, kausa prematur 60% kausa ignota (sebab yang belum diketahui), sedangkan menurut Holmer sebagian besar tidak diketahui. Faktor etiologi yang dikemukakan adalah kausa ignota, toksemia gravidarum, multiparitas, perdarahan antepartum, kelainan seviks, komplikasi dari penyakit seperti sifilis, dekompensasi kordis, rematik, penyakit-penyakit ginjal, mioma uteri, kelainan kongenital, ketuban pecah dini, Rh-faktor dan Hidramnion gemeli (Sofian,2012).
Krisnadi et al (2009), menggolongkan penyebab persalinan prematur menjadi 2, yaitu penyebab idiopatik/spontan dan iatrogenik/elektif. Pada kelompok idiopatik penyebab persalinan prematur tidak diketahui. Sedangkan pada kelompok iatrogenik atau persalinan prematur buatan, karena kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan ibu dan/atau janin maka kehamilan harus diakhiri segera.
Faktor-fakor yang memulai persalinan belum diketahui dan mungkin melibatkan retreat from maintenance of pregnancy (dihentikannya pemeliharaan kehamilan), yaitu penghentian faktor-faktor penopang kehamilan (misalnya hormon) atau induksi aktif akibat faktor-faktor simulatorik yang bekerja di uterus. Mungkin komponen dari kedua fenomena ini berperan. Kurangnya pengetahuan tentang faktor-faktor ini menghambat kemajuan dalam mencegah pelahiran prematur (Sadler, 2009).
3.             Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persalinan Prematur
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari faktor-faktor risiko persalinan prematur, namun adanya faktor risiko tersebut tidak selalu menyebabkan terjadinya persalinan prematur, bahkan sebagian persalinan prematur yang terjadi spontan tidak mempunyai faktor risiko yang jelas (Krisnadi et al, 2009). Beberapa kondisi selama kehamilan yang merupakan faktor risiko terjadinya persalinan prematur adalah sebagai berikut:
a.         Faktor ibu
1)        Preeklamsia/hipertensi
Aggressive management dengan mengakhiri persalinan bahkan sebelum usia kehamilan aterm dilakukan jika upaya konservatif yang dilakukan untuk menangani preeklamsia mengalami kegagalan yang ditandai dengan keadaan klinik dan laboratorik baik ibu maupun janin memburuk. Terdapat kecenderungan dari tenaga kesehatan yang menolong persalinan untuk segera mengakhiri kehamilan jika seorang ibu hamil mengalami preeklamsia walaupun usia kehamilan ibu belum memasuki usia aterm dalam upaya untuk menyelamatkan ibu (Saifuddin, 2009). 
2)        Penyakit infeksi dengan demam, misalnya Infeksi saluran kemih/genital/intrauterin
Infeksi saluran kemih dan jalan lahir (traktus urogenital) sangat berkaitan dengan persalinan prematur. Infeksi ini biasanya mewakili infeksi bakteri yang menjalar secara ascendens dari saluran genital bawah (Krisnadi et al, 2009). Goldenberg dkk (2008) telah menghipotesiskan bahwa infeksi intrauteri memicu persalinan kurang bulan akibat aktivasi sistem imun bawaan. Mikroorganisme menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi yang kemudian merangsang produksi prostaglandin. Prostaglandin merangsang kontraksi rahim, sedangkan degradasi matriks ekstraseluler pada membran janin mengakibatkan Ketuban Pecah Dini (KPD) usia prematur (Cunningham et al, 2013).
3)        Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)
Inkompetensi serviks dapat ditegakkan ketika serviks mengalami penipisan dan pembukaan tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan yang dapat memicu terjadinya persalinan (Varney et al, 2007). Persalinan prematur dapat berlangsung karena fetus dan cairan ketubannya terlalu berat untuk disangga oleh rahim dengan serviks inkompeten, ketuban dapat segera pecah atau didahului oleh kontraksi rahim (Krisnadi et al, 2009).
4)        Riwayat persalinan prematur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang telah mengalami persalinan prematur pada persalinan sebelumnya memiliki risiko 20% sampai 40% untuk mengalami persainan prematur kembali pada kehamilan berikutnya (Varney et al, 2008). Risiko persalinan prematur berulang untuk wanita yang pada persalinan pertamanya mengalami persalinan prematur, meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan wanita yang bayi pertamanya lahir cukup bulan (Cunningham, 2013). Ibu yang mempunyai riwayat satu kali persalinan prematur sebelumnya akan meningkatkan risiko untuk mendapat persalinan prematur lagi sebesar 2,2 kalinya; dan bila pernah mengalami tiga kali persalinan prematur risikonya meningkat sampai 4,9 kalinya. Penelitian lain mendapatkan kejadian persalinan prematur 3 kali lipat pada ibu dengan riwayat persalinan prematur (Krisnadi et al, 2009).
5)        Riwayat abortus berulang
Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa pernah mengalami abortus atau terminasi kehamilan pada trimester pertama tidak berhubungan langsung dengan kejadian persalinan prematur, namun peneliti-peneliti lain mendapatkan peningkatan kejadian prematuritas sebesar 1,3 kali pada ibu yang mengalami satu kali abortus dan 1,9 kali pada ibu yang mengalami dua kali abortus (Krisnadi et al, 2009).
6)        Trauma
Trauma eksternal seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau kekerasan fisik dapat mengakibatkan lepasnya plasenta dari tempat insersinya dan menyebabkan terjadinya solusio plasenta (Cunningham, 2013). Trauma benda tumpul, terjatuh telungkup pada ibu hamil dapat mengakibatkan solusio plasenta yang dapat mengakibatkan persalinan prematur (Rukiyah dan Yulianti, 2010).
7)        Stress psikologik
Beban psikologik yang ditanggung oleh ibu dapat mengakibatkan gangguan perkembangan janin. Stresor yang banyak baik stresor internal maupun stressor eksternal dapat mengakibatkan depresi pada ibu hamil, maka kemungkinan besar motivasi ibu untuk menjaga kehamilannya juga akan merurun. Perlakuan seperti itu terhadap kehamilan sudah dapat dipastikan akan menimbulkan banyak masalah dan komplikasi salah satunya adalah terjadinya persalinan prematur (Sulistyawati, 2009).
Stres pada ibu dapat meningkatkan kadar katekolamin dan kortisol yang akan mengaktifkan placental corticotrophin releasing hormone dan mempresipitasi persalinan melalui jalur biologis. Stres juga mengganggu fungsi imunitas yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi atau infeksi intraamnion dan akhirnya merangsang proses persalinan (Krisnadi et al, 2009).
8)        Jarak antara persalinan yang terlalu rapat
Conde Agudelo dkk (2006), melaporkan bahwa rentang waktu yang lebih pendek dari 18 bulan dan lebih panjang dari 59 bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran kurang bulan (Cunningham et al, 2013). Risiko mengalami persalinan prematur kurang dari 32 minggu akan meningkat 30-90% pada ibu yang mempunyai interval kehamilan kurang dari 6 bulan dibandingkan dengan ibu yang mempunyai interval kehamilan lebih dari 12 bulan (Krisnadi et al, 2009).
9)        Kurang gizi
Selama proses kehamilan bayi sangat membutuhkan zat-zat penting yang hanya dapat dipenuhi dari ibu. Kurang gizi akan menimbulkan banyak komplikasi yang dapat berakibat fatal pada kehamilan (Sulistyawati, 2009). Zat gizi yang tidak mencukupi diyakini dapat mengganggu pertumbuhan janin. Ibu dan janin dengan gizi kurang dapat mengalami stres dan berakhir dengan persalinan prematur (Krisnadi et al, 2009). 
10)    Anemia pada ibu hamil
Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh ibu hamil, sehingga ibu mudah sakit, menghambat pertumbuhan janin sehingga bayi lahir dengan berat badan rendah dan memicu terjadinya persalinan prematur (Prasetyawati, 2012). Anemia pada kehamilan dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi dan asam folat selama kehamilan. Kondisi anemia pada ibu hamil dapat berefek pada rendahnya suplai nutrisi dan oksigen sehingga sirkulasi uteroplasental menjadi tidak lancar. Hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan janin terganggu. Salah satu akibat yang dapat terjadi adalah persalinan prematur (Manuaba et al, 2012).
Anemia pada ibu hamil karena kekurangan zat besi dapat meningkatkan resiko infeksi maternal, dan hemoglobin yang rendah dapat menyebabkan hipoksia kronis tingkat rendah yang dapat menginduksi stress pada ibu dan janin. Sebagai reaksi dari adanya stress dari ibu dan janin tersebut maka otak akan mengaktifkan HPA yang dapat merangsang peningkatan produksi CRH atau kortisol untuk memulai persalinan yang prematur (Zang et al, 2009). 
b.        Faktor janin dan plasenta
1)        Ketuban pecah dini (KPD)
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan prematur sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm (Saifuddin, 2009). Menurut Manuaba et al (2012), terdapat beberapa penyebab terjadinya KPD, diantaranya faktor sosial: perokok, peminum, keadaan sosial ekonomi rendah, overdistensi uterus dan servik inkompeten. Menurut Krisnadi et al (2009), risiko persalinan prematur pada ibu dengan riwayat KPD saat kehamilan kurang dari 37 minggu adalah 34-44%, sedangkan risiko untuk mengalami KPD kembali sekitar 16-32%.
2)        Cacat bawaan janin
Hasil penelitian Dolan dkk pada tahun 2007 menemukan, setelah mengendalikan berbagai faktor pengganggu, ternyata cacat lahir berkaitan dengan kelahiran kurang bulan (Cunningham et al, 2013).
3)        Kehamilan dengan distensi uterus
Kehamilan dengan distensi uterus merupakan pembesaran uterus yang lebih besar pada kehamilan yang disebabkan oleh unsur uterus, air ketuban, plasenta ataupun janin itu sendiri. Seiring dengan regangan uterus yang cukup sering dapat menimbulkan kontraksi dan kemampuan serviks mempertahankan kehamilan menjadi menurun, sehingga dapat terjadi persalinan sebelum waktunya (Saifuddin, 2009).
a)         Kehamilan ganda/gemeli
Jumlah janin yang lebih dari satu mengakibatkan pembesaran uterus melebihi normal dari usia kehamilan (Varney et al, 2007). Sepuluh persen dari semua kelahiran prematur disebabkan karena kehamilan kembar (Varney et al, 2008).
b)        Polihidramnion
Kondisi volume cairan ketuban yang berlebihan dapat mengakibatkan distensi uterus yang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan persalinan prematur (Varney et al, 2007)
4)        Perdarahan antepartum
a)         Plasenta previa
Perdarahan pertama pada Ibu hamil dengan plasenta previa sudah bisa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu, tetapi lebih dari separuh kejadiannya pada usia kehamilan 34 minggu ke atas. Terminasi kehamilan dengan seksio sesarea terpaksa harus segera dilakukan untuk menghindari terjadinya anemia ibu karena kehilangan darah bahkan syok. Hal ini membuat kelahiran prematur dan gawat janin tidak terhindarkan (Saifuddin, 2009).
b)        Solusio plasenta
Beberapa kasus trauma eksternal seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau kekerasan fisik dapat mengakibatkan lepasnya plasenta dari tempat insersinya (Cunningham, 2013). Perdarahan retroplasenta yang terus berlangsung dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan insufisiensi fungsi plasenta. Jika hal tersebut terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, maka terminasi kehamilan dapat berakibat pada persalinan prematur (Saifuddin, 2009).
c.         Faktor sosio-demografi
1)        Status perkawinan (kawin dan tidak kawin)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian persalinan prematur lebih tinggi terjadi pada  ibu yang memiliki status perkawinan tidak sah (15%) dari pada yang memiliki status perkawinan yang sah (13%) (Sofian, 2012). Jika kehamilan tidak diharapkan karena hamil sebelum menikah, sehingga ibu akan menjadi sangat membenci kehamilannya, sehingga tidak ada keinginan dari ibu untuk melakukan hal-hal positif yang dapat meningkatkan kesejahteraan bayinya, salah satu akibatnya adalah persalinan prematur (Sulistyawati, 2009). Persalinan prematur pada ibu yang tidak menikah meningkat pada semua golongan etnik dan semua golongan usia ibu. Penyebab pasti belum diketahui, diduga berkaitan dengan faktor psikososial (kecemasan, stress), dukungan lingkungan dan faktor sosio-ekonomi (Krisnadi et al, 2009).
2)        Suku bangsa
Menurut Sofian (2012), di luar negeri pada orang kulit putih frekuensinya lebih rendah (6%), dibandingkan dengan orang kulit hitam lebih tinggi (11-13%). Hasil penelitian Kitska dkk (2007) di Negara bagian Missouri, menemukan bahwa wanita kulit hitam memiliki peningkatan risiko kelahiran kurang bulan yang berulang (Cunningham, 2013).
3)        Sosial ekonomi
Ibu hamil dengan tingkat sosial ekonomi rendah akan mendapatkan kesejahteraan fisik dan psikologis yang buruk. Status gizi ibu hamil pun akan menurun karena zat gizi yang didapat kurang berkualitas yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan pada ibu hamil (Sulistyawati, 2009). Salah satu akibat dari penurunan status gizi pada ibu hamil adalah anemia karena kekurangan zat besi dan asam folat saat kehamilan. Hal tersebut dapat menyebabkan anemia pada ibu hamil yang dapat berakibat pada terjadinya persalinan prematur (Cunningham, 2013). 
d.        Kebiasaan
1)        Pemakaian obat narkotik
Penyalahgunaan obat narkotik saat hamil dapat mempengaruhi perkembangan janin baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dari obat melalui plasenta dapat menimbulkan efek pada sel embrio, sedangkan pengaruh tidak langsung dengan mempengaruhi perfusi plasenta dan oksigenasi janin. Konsumsi heroin selama kehamilan dapat menimbulkan risiko perinatal salah satunya berupa persalinan prematur (Saifuddin, 2009). 
2)        Pekerjaan yang terlalu berat sewaktu hamil
Pekerjaan yang terlalu berat pada ibu hamil akan dapat menimbulkan kontraksi rahim yang dapat memicu terjadinya persalinan (Sulistyawati, 2009). Jika usia kehamilan belum mencapai usia aterm, maka dapat berakibat pada terjadinya persalinan prematur. Jam kerja yang panjang dan kerja fisik yang berat pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko kelahiran kurang bulan (Cunningham et al, 2013).
Kejadian persalinan prematur lebih rendah pada ibu hamil yang bukan pekerja dibandingkan dengan ibu pekerja yang hamil. Pekerjaan ibu dapat meningkatkan kejadian persalina prematur baik melalui kelelahan fisik atau stres yang timbul akibat pekerjaannya (Krisnadi et al, 2009). 
3)        Perokok berat, dengan lebih dari 10 batang/hari.
Ibu hamil yang merokok akan mengakibatkan bayi kekurangan oksigen dan racun yang dihisap melalui rokok dapat ditransfer melalui plasenta ke dalam tubuh bayi. Proses tersebut dapat menyebabkan gangguan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi janin dalam kandungan. Salah satu akibat yang ditimbulkan dari kondisi tersebut adalah risiko terjadinya persalinan prematur yang meningkat (Sulistyawati, 2009).
4.             Klasifikasi Bayi Prematur
Berdasarkan atas timbulnya bermacam-macam problematik pada derajat prematuritas maka Usher (1975) dalam Wiknjosastro (2007), menggolongkan bayi yang lahir prematur tersebut dalam tiga kelompok yaitu:
a.         Bayi yang sangat prematur (extremely prematur), yaitu bayi yang lahir pada usia kehamilan 24-30 minggu.
b.        Bayi pada derajat prematur yang sedang (moderately prematur), yaitu bayi yang lahir pada usia kehamilan 31-36 minggu.
c.         Borderline prematur, yaitu bayi yang lahir pada usia kehamilan 37-38 minggu.
Krisnadi et al (2009) juga menklasifikasikan persalinan berdasarkan usia kehamilannya sebagai berikut:
a.         Usia kehamilan 32-36 minggu disebut persalinan prematur (preterm).
b.        Usia kehamilan 28-32 minggu disebut sangat prematur (very preterm).
c.         Usia kehamilan antara 20-27 minggu disebut ekstrim prematur (extremely preterm).